Tere Liye klaim BPIP melanggar Pancasila dengan mengatur penampilan Paskibraka perempuan dalam HUT RI. Simak selengkapnya!

Lambe Katy – Kontroversi terbaru yang melibatkan Badan Pengawas Ideologi Pancasila (BPIP) dan Tere Liye, penulis novel terkenal “Negeri Di Ujung Tanduk”, mencuat ke permukaan. Menurut Tere Liye, BPIP telah melakukan pelanggaran terhadap Pancasila dengan mengeluarkan kebijakan yang meminta Paskibraka perempuan untuk siap melepas jilbab selama upacara peringatan HUT RI ke-79.

Pelanggaran BPIP Atas Pancasila?

Dalam unggahan Instagramnya, Tere Liye menyatakan bahwa permintaan ini jelas menunjukkan bahwa BPIP tidak menghormati hak individu untuk memakai pakaian sesuai dengan keyakinan agamanya, yang ia anggap sebagai pelanggaran terhadap dasar negara, Pancasila. Menurutnya, kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tersebut bukan hanya tak menghargai keberagaman, tetapi juga mendikte bagaimana seorang Paskibraka harus berpenampilan selama bertugas.

Di sisi lain, Yudian Wahyudi, Kepala BPIP, membantah adanya pemaksaan. Ia menjelaskan bahwa aturan tersebut telah dikomunikasikan sejak awal proses pendaftaran dan setiap calon Paskibraka perempuan telah menandatangani surat pernyataan sukarela yang bermaterai. Yudian menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk mematuhi standar pakaian yang telah ditetapkan dan tidak bertujuan untuk mengurangi hak individu.

Banyak Juga: Sidang Perdana Harvey Moeis

Tere Liye, bagaimanapun, tetap menilai bahwa adanya surat pernyataan tersebut adalah bentuk paksaan, karena setiap calon diharuskan menyetujuinya jika ingin melanjutkan dalam seleksi Paskibraka. Ini, menurutnya, secara tidak langsung memaksa mereka untuk menyetujui kondisi yang telah ditetapkan oleh BPIP tanpa mempertimbangkan keyakinan pribadi mereka.

Perselisihan ini menimbulkan pertanyaan lebih besar mengenai batasan antara regulasi seragam dalam tugas negara dan penghormatan terhadap keberagaman agama dan pilihan pribadi, sebuah isu yang sangat sensitif dan penting dalam konteks Indonesia yang pluralis.

Kasus ini masih berkembang dan respons dari berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia dan kelompok agama, sangat diantisipasi. Bagaimana seharusnya Indonesia menavigasi antara kebutuhan uniformitas dalam tugas-tugas kenegaraan dengan menghormati dan melindungi hak-hak individu untuk mengekspresikan keyakinan agamanya? Kontroversi ini mungkin akan menjadi batu ujian penting bagi BPIP dan pemerintah Indonesia dalam menunjukkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai Pancasila yang menjadi fondasi negara.